Semua orang ingin langsing, termasuk Saya. Langsing itu bukan kurus, melainkan stabil di ukuran paling ideal yang pernah kita miliki. Ukuran ideal Saya adalah Medium. Namun sejak 2010 akhir, Saya mulai “berkembang” tanpa sadar. Sampai suatu ketika, selepas jalan-jalan ke Living World Serpong bersama keluarga dan mencicipi manisnya 2 bundaran JCo, Saya mendapat bbm dari seorang sobat yang mengenal Saya sejak tahun 2004. Dengan manis dan berhati-hati, dia menanyakan apakah Saya baru saja di Living World. Saya jawab, “Iya, kok Mas nggak nyapa?”. Jawabannya amat sopan namun menohok. Katanya dia ragu menegur Saya. Dia berkata, wajahnya sepertinya kenal tapi kok badannya lebih besar.
Saya mulai terusik dan merenung. Memang sih, sebelumnya ada teman bbm dan menanyakan apakah Saya sedang hamil, setelah melihat Saya di sebuah tayangan televisi. Tapi teorinya, di televisi memang semua terlihat lebih “berisi”. Ada juga beberapa “fitting room tragedy” di mana dengan pedenya Saya mencoba ukuran Medium, namun ukuran Large pun masih terasa sesak. Itupun Saya masih berpikir, jangan-jangan merek tertentu memang memperkecil ukuran karena trend mode yang makin ramping. Sampai di satu titik di mana suatu pagi, Saya bingung memilih baju untuk ke kantor, karena semua model sudah sempit.
Merasa bahwa diet dan olah raga adalah hal yang menyusahkan, maka Saya memilih strategi yang lebih mudah. Pertama, beli baju-baju ukuran lebih besar. Kedua, sesuai saran teman, Saya mencoba Mesotherapy, yaitu suntik untuk menghancurkan lemak di tempat-tempat “strategis” seperti perut dan paha, di sebuah klinik di Kebayoran Baru. Setelah meso, begitu kata bekennya, Saya menjalani akupuntur plus disinar pakai bio-energy lamp, biar lebih mujarab. Seluruh perawatan memakan waktu hampir 1 jam. Walaupun sakit ditusuk-tusuk sana-sini, masih lumayan dibandingkan nge-gym yang pastinya lebih sengsara, apalagi bahu Saya pernah cedera. Setelah 5 kali perawatan, Saya mulai bertanya-tanya. Badan biru lebam, dan kadang area bekas suntik gatal teriritasi, tapi kok kayaknya hanya mengurangi lingkar pinggang 1 centimeter.
Kata Dokter cantik nan langsing yang merawat Saya, ternyata Saya mesti menjaga mulut juga dengan menu ala si Dokter yang susah sekali dipraktekkan. Akhirnya Saya coba mengurangi makan ala Saya sendiri, plus Pilates supaya perut singset. Pilates memang ampuh, namun jarak tempuh dari rumah ke studio Pilates yang mengarungi separo Kota Jakarta dengan kondisi macet parah, membuat Saya surut dari Pilates. Tinggal usaha dietnya. Diet yang hanya sekedar mengurangi makan, akhirnya bikin mood Saya jelek, mudah stress dan berat badan tetap mapan di angka 63-64 kg.
Setelah curhat ke teman Saya yang kebetulan seorang Dokter, Saya mendapatkan rekomendasi ke seorang Dokter Spesialis Gizi yang popular di Ibu Kota. Katanya banyak yang berhasil dengan program dari Sang Dokter. Saya pun angkat telpon dan membuat perjanjian dengan Dokter Samuel Oetoro.
Sebelum ketemu dengan Dokter Sam, begitu panggilan akrab Beliau, Saya dibawa ke ruangan analisa. Di situ badan Saya ditimbang dan diukur kadar lemaknya. Setelah 15 menit menunggu, tibalah giliran Saya berjumpa dengan Dokter Sam, yang ternyata penampilannya mirip Bapak Motivator Mario Teguh. Di atas meja Beliau ada benda yang menarik perhatian, yaitu sebuah bongkahan yang mirip jelly berwarna kuning cerah, namun Saya pikir itu hanya sebuah pemberat kertas.
Dokter yang penuh senyum itu membuka percakapan dengan membacakan hasil analisa digital tersebut. Ada 3 hal besar yang mencengangkan, yaitu: usia biologis Saya setahun lebih tua dari usia kronologis Saya, berat badan Saya 9 kg lebih berat dari ideal, dan komposisi lemak di badan Saya 10% lebih banyak daripada seharusnya. Sambil tetap tersenyum, Dokter menunjuk pada bongkahan jelly di atas meja. “Ini adalah lemak betulan yang diawetkan. Beratnya sekitar 500 gram”. Waduh, berarti di badan Saya ada belasan gumpalan seperti itu. Kata Dokter lebih lanjut, kadang lemak itu tak kasat mata karena tersebar rata di seluruh tubuh, dan sebagian lagi ada di dalam badan, alias visceral fat. Yang tak terlihat itu yang berbahaya karena bisa membalut jantung, hati, dan organ penting lainnya.
Lalu apa solusinya? Selain olah raga yang bersifat aerobic seperti jalan kaki dan berenang, Dokter pun mengeluarkan jurus pamungkas, menu diet! Pagi: 3 putih telur rebus (hanya putihnya, sangat ditekankan), 1 jenis buah apa saja kecuali pisang, mangga, nangka dan durian, 1 sendok makan Virgin Coconut Oil dan 1 sendok makan Olive Oil yang extra virgin (semuanya diminum begitu saja). Kalau terasa agak lapar sebelum makan siang, boleh makan buah kecuali buah “terlarang” tadi. Siangnya lumayan, boleh makan nasi setengah porsi, plus lauk-pauk yang dianjurkan tidak digoreng garing. Malamnya, 1 putih telur rebus, 1 jenis buah dan 1 gelas susu pengganti makan. Kelihatannya berat, tapi sebenarnya hanya berat di lidah, karena pasti lumayan mengenyangkan perut. Begitulah hari-hari Saya jalankan dengan semangat dan komitmen tinggi, karena tiap 10 hari Saya harus balik ke dokter dan timbang badan.
Kunjungan ke-2 Saya ke dokter, dibuka dengan tumpahan curhat betapa Saya jadi mudah marah , bahkan rasanya mau makan orang! Bukan karena lapar, bukan karena lemas, karena secara fisik, justru jadi lebih fit. Marah karena tak boleh menyentuh semua yang Saya kasihi, mulai dari Mie Ayam, Cappuccino, sampai Ice Cream. Kalau meeting di Starbucks, terpaksa pesan Zen atau Chamomile Tea, sementara teman di sebelah dengan nikmatnya menyeruput Java Chip Frappuccino. Dokter Sam senyum-senyum saja. Mungkin Saya ini orang yang ke sekian ratus yang mengeluh soal perubahan cuaca hati gara-gara diet. Dokter Sam hanya bilang, suasana hati bisa lebih baik kalau Saya rajin olah-raga, supaya ada serotonin naik ke otak. Pintar juga Pak Dokter. Mulailah hari-hari Saya dipenuhi dengan berenang selepas jam kantor. Air yang dingin dan malam yang melelahkan mesti dijalani. Namun 4 bulan setelah mengeluh di depan Dokter Sam, Saya mulai menikmati hasilnya.
Dalam waktu 4 bulan, berat badan berkurang 9 kilogram, yang berarti mencapai berat ideal Saya. Baju-baju yang tadinya sudah sempit, makin terasa longgar. Malahan sekarang Saya harus beli baju-baju baru dengan ukuran 2 nomor lebih kecil. Pada merek-merek tertentu, bahkan Saya sudah masuk dalam kategori extra small. Waktu SMA pun Saya tidak pernah seramping ini.
Lalu apakah seumur hidup Saya harus “sengsara” berpantang makan? Ternyata tidak juga. Setelah stabil, tiap weekend Saya kadang menikmati juga ice cream, coklat, kue, namun dalam porsi yang kecil. Mie Ayam pun sudah bisa dinikmati. Namun karena lambung sudah terlatih, separuh mangkuk saja sudah cukup puas. Bagaimana dengan cappuccino? Sudah bisa juga, tanpa gula dan susunya minta yang low fat. Olah raga juga sudah jadi kebiasaan. Justru kalau tidak olah raga malahan terasa ada yang kurang, walaupun berenang sekarang hanya dua kali seminggu.
Teman-teman yang melihat perubahan ukuran badan Saya ini juga banyak yang kemudian berkonsultasi seputar problem mereka. Saya senang sekali bisa sharing, karena ternyata ada yang mempraktekkan dan berhasil. Ada juga yang sering tanya, tapi belum juga mulai praktek dengan 1001 alasan. Ujung-ujungnya tergantung “defining moment’ apa yang membuat kita bisa “bertobat”. Dalam kasus Saya, Saya harus berterima kasih pada teman yang pangling itu. Yang jelas, langsing itu tidak mustahil.
sumber : Amelia Santoso